Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Tak bisa disangkal lagi, kita hidup di dunia yang penuh dengan
kemunafikan. Bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang
kita hirup. Kemunafikan juga tampak di setiap sudut yang dilihat oleh
mata. Mungkin, konsep ini benar: kita munafik, maka kita ada. Mungkin?
Namun, seringkali, kemunafikan tidak disadari. Keberadaannya ditolak.
Menyangkal bahwa kita adalah mahluk munafik sebenarnya adalah suatu
kemunafikan tersendiri. Yang kita perlukan adalah menyadari semua
kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk
kemunafikan” yang bercokol di dalam diri kita.
Kemunafikan Pendidikan
Kemunafikan bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh tubuh bangsa
kita. Di dalam pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak,
namun diterapkan secara sistematis. Guru mengajar tentang kejujuran,
sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional.
Pemerintah bicara soal sekolah gratis di berbagai media, sementara
pungutan liar di sekolah-sekolah tetap berlangsung.
Para professor menerima tunjangan raksasa, sementara mereka tak
memiliki karya berharga. Guru mendapat uang lebih, namun paradigma
mengajar tetap sama, yakni memaksa untuk menghafal, dan memuntahkan
kembali melalui ujian. Tujuan pendidikan yang luhur dipampang di muka
umum, namun prakteknya justru menyiksa peserta didik, dan memperbodoh
bangsa.
Ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi
digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak berarti yang tak
menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi
hanya simbol yang sia-sia belaka. Pendidikan karakter dikumandangkan
dengan gencar, tetapi sebenarnya hanya merupakan proyek pemerintah untuk
mengucurkan uang lebih, dan kesempatan untuk korupsi.
Kemunafikan Politik
Politik juga adalah bidang yang digerogoti oleh penyakit kemunafikan.
Senyum di media disebarkan secara luas, sementara korupsi dan penipuan
terus dilakukan. Janji-janji indah digemakan, sementara praktek nyata
untuk perbaikan kehidupan bersama tak kunjung tiba. Baju necis dan bau
harum menjadi ciri para politikus untuk menutupi kekotoran tindakan
mereka yang telah membunuh banyak orang.
Pidato dibuat seindah mungkin, didukung dengan data-data yang telah
dipalsukan, untuk menutupi kenyataan sosial yang menyakitkan. Retorika,
yakni kemampuan mempermainkan kata dan menjungkirbalikkan kebenaran,
menjadi senjata para politikus untuk menyembunyikan borok politik yang
ada. Konvoi-konvoi di jalan raya seolah membuka jalan untuk orang
penting, yang sebenarnya hanyalah parasit korup yang menyiksa rakyat.
Perjalanan dinas menjadi dalih untuk wisata pribadi dengan uang
rakyat. Rapat dengan “uang rapat” menjadi dalih untuk mengeluarkan
anggaran, guna mempergendut rekening pribadi. Pemilu dan pilkada, yang
merupakan salah satu proses terpenting di dalam demokrasi, menjadi
kesempatan untuk menjual diri ke rakyat, guna memperoleh kesempatan
untuk korupsi di kemudian hari. Tak heran, politik kita kini semrawut.
Kemunafikan Agama
Agama, bidang kehidupan yang penuh dengan nilai luhur kehidupan, pun
tak lolos dari cengkraman kemunafikan. Ajaran moral agama dipelintir
untuk menindas kaum perempuan dan orang-orang yang berbeda pandangan.
Ajaran moral agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan dan
pembodohan masyarakat. Bahkan, ajaran moral agama seringkali digunakan
untuk memuaskan hasrat seks liar yang tak dapat lagi ditahan.
Para pemuka agama berkhotbah tentang kejujuran, sementara mereka
menipu banyak orang dengan ucapan manis, namun tindakan penuh kekejaman.
Para pemuka agama berkhotbah tentang pentingnya cinta, namun bertindak
menindas kaum perempuan dan kelompok lain yang ada di masyarakat. Para
pemuka agama berkhotbah soal moral dan kebaikan, namun luntur prinsipnya
di hadapan kuasa uang dan seks.
Orang beragama berkhotbah soal nilai-nilai kehidupan, namun bisa
saling bunuh, hanya karena beda pandangan tentang satu ayat yang
tertulis di dalam buku tua. Orang beragama berkhotbah soal amal dan
sifat luhur memberi, namun amal hanya untuk orang-orang yang sealiran,
dan tidak untuk orang-orang yang berbeda pandangan, apalagi berbeda
agama. Orang beragama berdoa sering dan lama, namun malas bekerja, dan
hidup dengan mentalitas korup.
Kemunafikan Bisnis
Ekonomi dan bisnis, sebagai bidang tempat orang bekerja dan
mengekspresikan bakat serta kemampuannya, juga tak bebas dari
kemunafikan. Senyum manis pelayanan diberikan untuk menutupi hasrat
untuk menumpuk modal tanpa batas. Pembukuan keuangan perusahaan
dijungkirbalikkan untuk menghindari pajak, dan menumpuk keuntungan untuk
pemilik modal. Retorika tentang krisis ekonomi diberikan untuk menekan
upah buruh, padahal keuntungan yang ada melulu menancap di kantong
pribadi pemilik modal.
Rayuan maut dalam bentuk suap dilakukan untuk melancarkan birokrasi.
Suap ditawarkan untuk mengeruk keuntungan yang lebih tinggi, walaupun
nyatanya membuat orang menderita, dan menghancurkan keseimbangan alam.
Barang dagangan dipelintir kualitasnya, sehingga menjadi lebih rendah,
dan merugikan pengguna, serta memberi keuntungan besar dalam jangka
pendek.
Proyek besar dijalankan untuk tujuan-tujuan yang tampak baik, namun
sebenarnya merusak alam, dan merugikan orang-orang yang telah hidup
sebelumnya, baik secara material maupun psikologis. Monopoli pasar
dilakukan, sehingga pengguna tidak memiliki pilihan, selain membeli dari
satu orang dengan harga mahal, namun mendapat mutu rendah.
Slogan-slogan sumber daya manusia tentang efektivitas dan efisiensi
digunakan untuk memerah buruh, supaya bisa semakin bekerja cepat, mutu
tinggi, dengan upah serendah mungkin.
Akar Kemunafikan?
Darimana akar kemunafikan ini? Salah satu analisis yang paling masuk
akal adalah kemunafikan yang lahir dari proses pendidikan di keluarga,
sebelum sistem-sistem lainnya menyentuh diri manusia. Orang tua
mengeluarkan ajaran yang berbeda, dengan apa yang sesungguhnya mereka
lakukan. Jurang antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan ini
ditiru oleh anak, dan setelah sekian lama akhirnya menjadi bagian dari
karakter dirinya.
Ayah berbicara tentang kesetian, sementara alat kelaminnya menjangkau
banyak perempuan. Ibu berbicara soal kejujuran, sementara setipa
bulannya, ia mencuri uang rumah tangga untuk kepentingan yang tak jelas.
Orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara seringkali, mereka
sendiri malas bekerja. Orang tua berkhotbah tentang pentingnya menaati
aturan, sementara mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum,
serta merugikan orang lain.
Akar dari kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata
dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa
yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara
nyata” terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Jurang ini memang selalu
ada. Namun, dalam dan luasnya menentukan besarnya kemunafikan yang
terjadi. Bagaimana dengan anda? Seberapa jauh jarak yang anda punyai
antara apa yang ada katakan tentang diri anda, dan apa yang sesungguhnya terjadi secara nyata?
0 komentar:
APA YANG ANDA TERPIKIRKAN DI BENAK,DENGAN ARTIKEL DI ATAS INI...
TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI.... !