Rabu, 07 November 2012

Menelanjangi Bentuk-bentuk Kemunafikan

0 komentar
Share on :
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Tak bisa disangkal lagi, kita hidup di dunia yang penuh dengan kemunafikan. Bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang kita hirup. Kemunafikan juga tampak di setiap sudut yang dilihat oleh mata. Mungkin, konsep ini benar: kita munafik, maka kita ada. Mungkin?
Namun, seringkali, kemunafikan tidak disadari. Keberadaannya ditolak. Menyangkal bahwa kita adalah mahluk munafik sebenarnya adalah suatu kemunafikan tersendiri. Yang kita perlukan adalah menyadari semua kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk kemunafikan” yang bercokol di dalam diri kita.
Kemunafikan Pendidikan
Kemunafikan bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh tubuh bangsa kita. Di dalam pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis. Guru mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional. Pemerintah bicara soal sekolah gratis di berbagai media, sementara pungutan liar di sekolah-sekolah tetap berlangsung.
Para professor menerima tunjangan raksasa, sementara mereka tak memiliki karya berharga. Guru mendapat uang lebih, namun paradigma mengajar tetap sama, yakni memaksa untuk menghafal, dan memuntahkan kembali melalui ujian. Tujuan pendidikan yang luhur dipampang di muka umum, namun prakteknya justru menyiksa peserta didik, dan memperbodoh bangsa.
Ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak berarti yang tak menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi hanya simbol yang sia-sia belaka. Pendidikan karakter dikumandangkan dengan gencar, tetapi sebenarnya hanya merupakan proyek pemerintah untuk mengucurkan uang lebih, dan kesempatan untuk korupsi.
Kemunafikan Politik
Politik juga adalah bidang yang digerogoti oleh penyakit kemunafikan. Senyum di media disebarkan secara luas, sementara korupsi dan penipuan terus dilakukan. Janji-janji indah digemakan, sementara praktek nyata untuk perbaikan kehidupan bersama tak kunjung tiba. Baju necis dan bau harum menjadi ciri para politikus untuk menutupi kekotoran tindakan mereka yang telah membunuh banyak orang.
Pidato dibuat seindah mungkin, didukung dengan data-data yang telah dipalsukan, untuk menutupi kenyataan sosial yang menyakitkan. Retorika, yakni kemampuan mempermainkan kata dan menjungkirbalikkan kebenaran, menjadi senjata para politikus untuk menyembunyikan borok politik yang ada. Konvoi-konvoi di jalan raya seolah membuka jalan untuk orang penting, yang sebenarnya hanyalah parasit korup yang menyiksa rakyat.
Perjalanan dinas menjadi dalih untuk wisata pribadi dengan uang rakyat. Rapat dengan “uang rapat” menjadi dalih untuk mengeluarkan anggaran, guna mempergendut rekening pribadi. Pemilu dan pilkada, yang merupakan salah satu proses terpenting di dalam demokrasi, menjadi kesempatan untuk menjual diri ke rakyat, guna memperoleh kesempatan untuk korupsi di kemudian hari. Tak heran, politik kita kini semrawut.
Kemunafikan Agama
Agama, bidang kehidupan yang penuh dengan nilai luhur kehidupan, pun tak lolos dari cengkraman kemunafikan. Ajaran moral agama dipelintir untuk menindas kaum perempuan dan orang-orang yang berbeda pandangan. Ajaran moral agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan dan pembodohan masyarakat. Bahkan, ajaran moral agama seringkali digunakan untuk memuaskan hasrat seks liar yang tak dapat lagi ditahan.
Para pemuka agama berkhotbah tentang kejujuran, sementara mereka menipu banyak orang dengan ucapan manis, namun tindakan penuh kekejaman. Para pemuka agama berkhotbah tentang pentingnya cinta, namun bertindak menindas kaum perempuan dan kelompok lain yang ada di masyarakat. Para pemuka agama berkhotbah soal moral dan kebaikan, namun luntur prinsipnya di hadapan kuasa uang dan seks.
Orang beragama berkhotbah soal nilai-nilai kehidupan, namun bisa saling bunuh, hanya karena beda pandangan tentang satu ayat yang tertulis di dalam buku tua. Orang beragama berkhotbah soal amal dan sifat luhur memberi, namun amal hanya untuk orang-orang yang sealiran, dan tidak untuk orang-orang yang berbeda pandangan, apalagi berbeda agama. Orang beragama berdoa sering dan lama, namun malas bekerja, dan hidup dengan mentalitas korup.
Kemunafikan Bisnis
Ekonomi dan bisnis, sebagai bidang tempat orang bekerja dan mengekspresikan bakat serta kemampuannya, juga tak bebas dari kemunafikan. Senyum manis pelayanan diberikan untuk menutupi hasrat untuk menumpuk modal tanpa batas. Pembukuan keuangan perusahaan dijungkirbalikkan untuk menghindari pajak, dan menumpuk keuntungan untuk pemilik modal. Retorika tentang krisis ekonomi diberikan untuk menekan upah buruh, padahal keuntungan yang ada melulu menancap di kantong pribadi pemilik modal.
Rayuan maut dalam bentuk suap dilakukan untuk melancarkan birokrasi. Suap ditawarkan untuk mengeruk keuntungan yang lebih tinggi, walaupun nyatanya membuat orang menderita, dan menghancurkan keseimbangan alam. Barang dagangan dipelintir kualitasnya, sehingga menjadi lebih rendah, dan merugikan pengguna, serta memberi keuntungan besar dalam jangka pendek.
Proyek besar dijalankan untuk tujuan-tujuan yang tampak baik, namun sebenarnya merusak alam, dan merugikan orang-orang yang telah hidup sebelumnya, baik secara material maupun psikologis. Monopoli pasar dilakukan, sehingga pengguna tidak memiliki pilihan, selain membeli dari satu orang dengan harga mahal, namun mendapat mutu rendah. Slogan-slogan sumber daya manusia tentang efektivitas dan efisiensi digunakan untuk memerah buruh, supaya bisa semakin bekerja cepat, mutu tinggi, dengan upah serendah mungkin.
Akar Kemunafikan?
Darimana akar kemunafikan ini? Salah satu analisis yang paling masuk akal adalah kemunafikan yang lahir dari proses pendidikan di keluarga, sebelum sistem-sistem lainnya menyentuh diri manusia. Orang tua mengeluarkan ajaran yang berbeda, dengan apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Jurang antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan ini ditiru oleh anak, dan setelah sekian lama akhirnya menjadi bagian dari karakter dirinya.
Ayah berbicara tentang kesetian, sementara alat kelaminnya menjangkau banyak perempuan. Ibu berbicara soal kejujuran, sementara setipa bulannya, ia mencuri uang rumah tangga untuk kepentingan yang tak jelas. Orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara seringkali, mereka sendiri malas bekerja. Orang tua berkhotbah tentang pentingnya menaati aturan, sementara mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum, serta merugikan orang lain.
Akar dari kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara nyata” terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Jurang ini memang selalu ada. Namun, dalam dan luasnya menentukan besarnya kemunafikan yang terjadi. Bagaimana dengan anda? Seberapa jauh jarak yang anda punyai antara apa yang ada katakan tentang diri anda, dan apa yang sesungguhnya terjadi secara nyata?

0 komentar:

APA YANG ANDA TERPIKIRKAN DI BENAK,DENGAN ARTIKEL DI ATAS INI...
TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI.... !