Terhadap Kekayaan
Orang kaya
belum tentu pintar. Banyak juga orang kaya, karena mendapat warisan. Bisa juga
ia menang lotere, menang judi, menipu, atau korupsi, lalu menjadi kaya. Tidak
ada hubungan yang pasti antara kekayaan dan kecerdasan.
Di Papua,
orang kaya seringkali dianggap orang cerdas. Pendapat-pendapat mereka
didengarkan, bukan karena pendapat itu benar, melainkan karena yang berbicara
adalah orang kaya. Bahkan orang kaya dengan mudah dicalonkan menjadi anggota
DPR/DPRD bukan karena ia layak, melainkan semata karena ia kaya. Padahal
seperti saya bilang sebelumnya, banyak orang kaya mendapatkan kekayaannya dari
warisan, atau dari sumber-sumber lain yang tak menuntut kecerdasan.
Maka kita
perlu menerapkan paradigma “belum tentu” di dalam melihat orang kaya. Kita
perlu berhenti mendewakan orang kaya, karena mereka belum tentu benar, dan
pendapat mereka belum tentu berisi. Orang kaya adalah manusia, dan manusia bisa
salah, maka orang kaya pun bisa salah. Kita tidak boleh tertipu.
Orang kaya
belum tentu berhati baik. Di balik sumbangan yang diberikan, ia seringkali
punya motif-motif tersembunyi yang tak selalu luhur. Ia seringkali punya agenda
politik ataupun bisnis yang menipu. Tidak ada hubungan pasti antara kekayaan
dan kebaikan hati.
Di Indonesia
umumnya dan khususnya di Papua orang kaya, terutama ketika menyumbang, langsung dianggap orang baik. Berbagai
cap positif ditempelkan ke mereka secara naif, apalagi jika yang memuji
terciprat harta dari si kaya. Uang yang berlimpah menutupi sikap kritis. Orang
lalu buta terhadap si kaya, ketika ia dilumuri oleh harta berlimpah. “Maju tak
gentar membela yang bayar”, begitu kata orang.
Kita perlu
menerapkan paradigma “belum tentu” di dalam menghubungkan antara kekayaan dan
kebaikan. Orang kaya belum tentu baik, walaupun ia tampaknya baik dengan
menyumbang banyak orang. Kita tidak boleh tertipu, walaupun diiming-imingi
harta berlimpah.
Terhadap Beragama
dan Bergelar
Orang
beragama juga belum tentu baik. Bisa juga kedok agama digunakan untuk menutupi
kejahatan yang telah ia lakukan. Ia ingin tampil suci untuk menutupi aksi jahat
yang telah dilakukan atau sedang direncanakan. Tidak ada hubungan pasti antara
orang yang beragama dengan orang yang baik.
Di Papua
orang beragama dianggap pasti bermoral baik. Makanya orang takut untuk tidak
beragama. Institusi-institusi tertentu sering menggunakan nama agama tertentu,
walaupun isinya jauh dari hal-hal baik. Agama disamakan begitu saja dengan
kebaikan, tanpa pernah secara kritis dipertimbangkan.
Kita juga
harus menerapkan paradigma “belum tentu” di dalam menghubungkan antara status
beragama dengan sifat baik. Jelas sekali bahwa orang beragama, serajin apapun
dia beribadah, belum tentu adalah orang baik. Kita tidak boleh tertipu dengan
slogan-slogan religius, jubah-jubah yang tampak suci, gelar-gelar religius, dan
keahlian mengutip kitab-kitab, melainkan berani belajar untuk melihat apa yang
ada di baliknya.
Orang
bergelar akademik panjang, seperti professor doktor, belum tentu orang cerdas.
Seringkali mereka adalah orang-orang yang bekerja sebagai dosen puluhan tahun,
tetapi tidak menghasilkan karya-karya bermutu yang mencerahkan masyarakat di
bidang keahliannya. Dengan kata lain gelar akademik seringkali adalah gelar
formalitas yang tak selalu mencerminkan kecerdasan orang-orang yang memakainya.
Di Indonesia
gelar adalah segalanya. Semakin banyak gelarnya maka ia akan semakin dianggap
jenius oleh lingkungannya. Omongannya tetap didengarkan dengan penuh kagum,
walaupun mungkin tak ada isinya. Gelar dipampang di forum-forum publik, seolah
tak percaya diri dengan nama yang telah diberikan orang tuanya.
Orang
bergelar panjang “belum tentu” cerdas dan bermoral baik. Paradigma “belum
tentu” pun perlu kita terapkan di dalam memandang orang-orang bergelar panjang.
Kita tidak boleh tertipu oleh kedok gelar yang dikenakan seseorang, dan perlu
untuk sungguh belajar melihat apa yang sungguh ada di baliknya.
Terhadap Etiket
Orang sopan
juga belum tentu baik. Seringkali ia menutupi maksud jahat dengan tata krama
yang tampak baik. Kata-kata lembut dikeluarkan untuk memberi kedok bagi maksud
jahat yang tetap tersembunyi di balik kata-kata. Sikap sopan hanyalah topeng
dari sesuatu yang tak jelas dibaliknya.
Di Indonesia
orang tergila-gila dengan tata krama. Sikap sopan langsung diangap sebagai
tanda kebaikan. Kata-kata lembut dianggap amat penting, tak peduli maksud
tersembunyi apa yang ada di baliknya. Penampilan dan tata krama adalah ukuran
bagi kebaikan seseorang.
Paradigma
“belum tentu” perlu diterapkan untuk melihat kesopanan. Yang jelas orang sopan
belum tentu baik. Jangan sampai kita tertipu, karena hanya terpaku melihat
etiket serta tata krama, namun buta pada karakter asli yang seringkali
tersembunyi di baliknya.
Terhadap Litani
“Belum Tentu”
Ada banyak
lagi litani “belum tentu” dalam hidup kita. Orang miskin belum tentu bodoh.
Orang miskin belum tentu tak bahagia. Bisa saja ia miskin, karena ditipu orang,
atau karena hidup mempermainkannya tanpa tujuan. Bisa saja ia miskin, karena ia
bahagia dengan kesederhanaan hidup, dan tak mau menjadi budak materi. Ada
banyak kemungkinan.
Orang tua
belum tentu bijaksana, karena bisa saja ia jarang menimba pelajaran dari
pengalaman hidupnya. Orang muda belum tentu tidak tahu apa-apa, karena bisa
saja ia amat reflektif di dalam menggali pelajaran dari pengalaman hidupnya.
Ada banyak kemungkinan.
Orang yang
berperilaku tidak lazim belum tentu sakit, atau gila. Bisa saja karena ia
adalah orang yang amat kreatif, yang mampu melihat dunia dari sudut yang unik,
yang tak dimiliki oleh orang-orang lainnya. Begitu pula sebaliknya; orang waras
belum tentu sehat. Bisa saja ia menutupi kegilaannya dengan perilaku normal.
Mayoritas pembunuh dan pemerkosa berantai adalah orang-orang yang
sehari-harinya tampak normal.
Institusi
ternama belum tentu bermutu. Sekolah terkenal belum tentu kualitas
pendidikannya bagus. Universitas besar belum tentu mampu mendidik secara tepat.
Perusahaan besar belum tentu memberikan kepuasan dan kebahagiaan pada pegawai
maupun konsumennya. Ada banyak kemungkinan lain yang harus kita pertimbangkan
lebih jauh.
Orang
berjenggot, bersorban, dan tampak ganas belum tentu teroris. Begitu pula orang
berpenampilan rapih belum tentu orang baik.
Orang
berijazah belum tentu mampu mampu bekerja dan punya karakter bagus. Dan
sebaliknya juga benar, orang yang tak punya ijazah belum tentu tak mampu
bekerja dan berkarakter jelek. Hasil ujian belum tentu mencerminkan kualitas
diri peserta didik. Hasil psikotes belum tentu mencerminkan karakter,
kepribadian, ataupun potensi diri si peserta tes. Ada banyak kemungkinan lain.
Terhadap Keterbukaan
Di tahun
2012 ini, kita perlu lebih berpikir terbuka. Kita perlu untuk lebih menggunakan
paradigma “belum tentu” di dalam hidup sehari-hari kita. Semakin banyak orang
tidak bisa lagi digolongkan di dalam satu kategori pengandaian (beragama maka
baik, atau sopan maka bermoral). Dunia kita semakin banyak diisi oleh hal-hal
yang “belum tentu”.
Jangan
sampai kita tertipu, atau salah membuat tindakan, karena kita masih berpegang
pada pengandaian-pengandaian naif yang tak terbuktikan. Ada banyak kemungkinan
lain di balik pengandaian-pengandaian tersebut, yang justru merupakan peluang
untuk bertindak kreatif dan menghasilkan hal-hal bermutu. Tahun 2012 adalah
tahun baru, namun “belum tentu” kita semua bisa berpikir secara baru. Semoga
yang terakhir ini tidak benar. “Belum tentu”…..
Oleh: Yustinus G. Ukago
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas
Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
1 komentar:
Blog kou enauto to ugaito umina to tai naiwai,,,,ikoudani kodo nauwai.
APA YANG ANDA TERPIKIRKAN DI BENAK,DENGAN ARTIKEL DI ATAS INI...
TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI.... !