Yustinus G.Ukago |
Mengapa anda pergi kantor setiap pagi? Atau mengapa anda buka toko
atau kios anda setiap pagi? Mengapa anda rela terjebak dengan
sistim, dan tetap pergi bekerja? Mengapa anda pergi ke sekolah, atau
ke kampus?
Mayoritas orang bekerja untuk mendapat uang, sehingga bisa hidup,
dan menghidupi keluarganya. Kerja tidak memiliki makna pada dirinya
sendiri, melainkan di luarnya, yakni uang, dan keluarga. Ada juga
yang pergi ke kantor, karena sistemnya mengatakan begitu. Orang harus
bekerja, dan itulah sistemnya. Itulah aturan yang tengah berlaku di
masyarakat.
Orang-orang modern melakukan aktivitasnya bukan karena aktivitas
itu bermakna, tetapi karena dipaksa oleh sistem yang ada di luarnya,
karena kewajiban, atau karena “terpaksa” bertahan hidup. Kata
“makna” sendiri pun semakin asing di pikiran orang-orang modern
yang sudah terpesona dengan yang praktis, aplikatif, dan teknis.
Ketika orang tidak menemukan makna di
dalam hidupnya, ia akan mengalami kekeringan hidup. Kebosanan dan
kejenuhan menjadi gejala sehari-hari manusia modern. Jika sudah
begitu, stress, depresi, dan berbagai bentuk “ketidakbahagiaan”
lainnya sudah menunggu di depan mata. Manusia modern terjebak di
dalam sistem dan birokrasi yang ia ciptakan sendiri, dan kehilangan
makna yang menjadi tujuan hidupnya.
Pada level politik, gejala yang sama bisa langsung terlihat. Dunia
politik Tanah Papua tidak lagi berbicara soal makna politik,
melainkan terjebak pada manuver-manuver politik yang penuh dengan
tipu daya, dan korup. Berbicara makna berarti berbicara soal “alasan
dari adanya sesuatu”. Apa alasan dari adanya dunia politik?
Pertanyaan itulah yang kini seolah lolos dari pikiran maupun perilaku
para politikus di Papua.
Orang membayar pajak, karena takut dihukum. Orang patuh peraturan,
karena takut dihukum. Orang ikut pemilu dan pilkada, karena takut
“apa kata orang”. Dunia politik di Papua tidak lagi memiliki
makna yang mendorong orang untuk bertindak secara aktif. Yang tersisa
adalah rasa takut dan keterpaksaan.
Banyak organisasi pun berjalan tanpa makna. Semua aktivitas
mereka, mulai dari rapat sampai tindakan lapangan, dijalankan bukan
karena aktivitas itu bermakna, tetapi karena “aturannya sudah
begitu”, atau karena terpaksa. Organisasi-organisasi di Papua, baik
yang kecil maupun yang besar, kehilangan makna dan “alasan adanya”
mereka, serta terjebak menjalankan “business as
usual”, yakni aktivitas rutin yang didasarkan pada rasa takut
dan keterpaksaan.
Dalam konteks hukum, makna pun hilang. Apa makna dari hukum? Apa
roh dari hukum? Makna dan roh dari hukum adalah keadilan. Sayangnya,
roh dan makna hukum ini sudah terlupakan di Indonesia. Yang tersisa
adalah perdebatan kencang tentang pasal-pasal kering yang sebenarnya
tak bermakna, jika tak ada roh keadilan di dalamnya.
Dunia bisnis di Papua, dan di seluruh dunia, pun mengalami hal
serupa, yakni krisis makna. Apa sebenarnya makna dari bisnis, yang
membuat bisnis itu “ada” pada awalnya? Makna dari bisnis adalah
pelayanan, dan dari pelayanan yang kita berikan, kita mendapatkan
uang, serta keuntungan. Pemahaman ini sudah hilang, dan digantikan
semata dengan sistem dan birokrasi yang mengabdi pada pengejaran
keuntungan, serta penumpukan modal tanpa batas.
Penyakit krisis makna ini menjangkiti banyak organisasi. Sebagai
suatu organisasi, agama-agama di dunia pun mengalaminya. Esensi, atau
makna, terdalam dari agama adalah pengalaman mistik, yakni pengalaman
yang menggetarkan sekaligus mengagumkan, ketika manusia bersentuhan
langsung dengan “yang Ilahi”. Makna inilah yang hilang dari
agama, dan digantikan dengan sekumpulan aturan, larangan, dan ritual
yang seringkali mencekik jiwa, serta justru memusnahkan pengalaman
mistik yang menggetarkan sekaligus mengagumkan akan “yang Ilahi”,
yang sebenarnya merupakan makna dari agama.
Tak heran, kini agama menjadi beringas. Atas nama tuhan, mereka
menyingkirkan yang berbeda. Atas nama tuhan, mereka melakukan
diskriminasi yang menyakiti hati, dan merusak martabat manusia. Agama
menjadi sumber arogansi, keterpaksaan, serta kebodohan, karena lupa
akan maknanya sendiri.
Dunia pendidikan pun tak luput dari penyakit ini. Makna dari
pendidikan sebagai penyadaran dan pembebasan kini sudah hilang. Yang
tersisa hanyalah sistem pendidikan dengan aturan, seragam, ujian,
serta pelajaran-pelajaran yang membuat peserta didik menderita. Maka
janganlah heran, kalau kita melihat peserta didik tak suka belajar,
dan lulusan-lulusan institusi pendidikan di Papua tak bermutu.
Penyakit krisis makna, yang menjangkiti berbagai bidang kehidupan
di Papua, terjadi, karena kita lupa akan makna dari hal-hal yang kita
lakukan. Yang kita ingat hanyalah sistem yang menopang makna
tersebut. Ketika makna hilang, dan yang tersisa tinggal sistem, kita
tak lagi mengerti, mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan. Kita
bagaikan mayat-mayat hidup yang melakukan aktivitas dengan rutin,
mekanis, serta tanpa kesadaran.
Dalam arti ini, ketika kita kehilangan makna, kita pun hidup
dijajah oleh sistem. Kita bekerja, karena kita terpaksa bekerja. Kita
mengikuti aturan, karena kita terpaksa mengikuti aturan. Kita dijajah
oleh sistem yang sebenarnya kita bangun sendiri. Jika sudah begitu,
hidup akan terasa kering, dan mengerikan.
Padahal, sistem adalah buatan kita. Artinya, kita punya kekuatan
untuk mengubahnya, asal kita sungguh mau melakukannya. Kemauan itu
hanya bisa ada, ketika kita sadar, bahwa kita dijajah oleh
sistem-sistem kehidupan yang sebenarnya kita buat sendiri. Kesadaran
inilah yang mesti kita bangun.
Analoginya begini. Sistem adalah kerangka tubuh, yakni tulang.
Sementara, makna adalah organ-organ tubuh, seperti paru-paru,
jantung, dan hati, yang ditopang oleh kerangka. Idealnya, keduanya
berjalan seimbang, sehingga orang bisa merasa sehat, dan bisa
beraktivitas. Namun, yang terjadi sekarang ini adalah organ-organ
tubuh sudah hilang, yang tersisa adalah kerangka, yakni sekedar
tulang.
Ketika tubuh hanya sekedar tulang, maka tubuh itu akan rapuh.
Ketika masyarakat hanya tinggal sekedar sistem dan birokrasi, tanpa
makna dan kesadaran, maka masyarakat itu pun rapuh, dalam arti
gampang pecah, oleh karena perang, maupun sebab-sebab sosial lainnya.
Perang saudara, kejatuhan sistem politis, revolusi, pembantaian
massal, dan hal-hal mengerikan lainnya bisa terjadi, karena suatu
masyarakat tidak memiliki makna politis di dalamnya.
Surabaya, 15 Januari 2013
Penulis
adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya
0 komentar:
APA YANG ANDA TERPIKIRKAN DI BENAK,DENGAN ARTIKEL DI ATAS INI...
TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI.... !