Senin, 14 Januari 2013

MEMANDANG REALITA KRISIS MAKNA PADA ORANG PAPUA

0 komentar
Share on :
Yustinus G.Ukago


Mengapa anda pergi kantor setiap pagi? Atau mengapa anda buka toko atau kios anda setiap pagi? Mengapa anda rela terjebak dengan sistim, dan tetap pergi bekerja? Mengapa anda pergi ke sekolah, atau ke kampus?

Mayoritas orang bekerja untuk mendapat uang, sehingga bisa hidup, dan menghidupi keluarganya. Kerja tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, melainkan di luarnya, yakni uang, dan keluarga. Ada juga yang pergi ke kantor, karena sistemnya mengatakan begitu. Orang harus bekerja, dan itulah sistemnya. Itulah aturan yang tengah berlaku di masyarakat.

Orang-orang modern melakukan aktivitasnya bukan karena aktivitas itu bermakna, tetapi karena dipaksa oleh sistem yang ada di luarnya, karena kewajiban, atau karena “terpaksa” bertahan hidup. Kata “makna” sendiri pun semakin asing di pikiran orang-orang modern yang sudah terpesona dengan yang praktis, aplikatif, dan teknis.

Ketika orang tidak menemukan makna di dalam hidupnya, ia akan mengalami kekeringan hidup. Kebosanan dan kejenuhan menjadi gejala sehari-hari manusia modern. Jika sudah begitu, stress, depresi, dan berbagai bentuk “ketidakbahagiaan” lainnya sudah menunggu di depan mata. Manusia modern terjebak di dalam sistem dan birokrasi yang ia ciptakan sendiri, dan kehilangan makna yang menjadi tujuan hidupnya.

Pada level politik, gejala yang sama bisa langsung terlihat. Dunia politik Tanah Papua tidak lagi berbicara soal makna politik, melainkan terjebak pada manuver-manuver politik yang penuh dengan tipu daya, dan korup. Berbicara makna berarti berbicara soal “alasan dari adanya sesuatu”. Apa alasan dari adanya dunia politik? Pertanyaan itulah yang kini seolah lolos dari pikiran maupun perilaku para politikus di Papua.

Orang membayar pajak, karena takut dihukum. Orang patuh peraturan, karena takut dihukum. Orang ikut pemilu dan pilkada, karena takut “apa kata orang”. Dunia politik di Papua tidak lagi memiliki makna yang mendorong orang untuk bertindak secara aktif. Yang tersisa adalah rasa takut dan keterpaksaan.
Banyak organisasi pun berjalan tanpa makna. Semua aktivitas mereka, mulai dari rapat sampai tindakan lapangan, dijalankan bukan karena aktivitas itu bermakna, tetapi karena “aturannya sudah begitu”, atau karena terpaksa. Organisasi-organisasi di Papua, baik yang kecil maupun yang besar, kehilangan makna dan “alasan adanya” mereka, serta terjebak menjalankan “business as usual”, yakni aktivitas rutin yang didasarkan pada rasa takut dan keterpaksaan.

Dalam konteks hukum, makna pun hilang. Apa makna dari hukum? Apa roh dari hukum? Makna dan roh dari hukum adalah keadilan. Sayangnya, roh dan makna hukum ini sudah terlupakan di Indonesia. Yang tersisa adalah perdebatan kencang tentang pasal-pasal kering yang sebenarnya tak bermakna, jika tak ada roh keadilan di dalamnya.

Dunia bisnis di Papua, dan di seluruh dunia, pun mengalami hal serupa, yakni krisis makna. Apa sebenarnya makna dari bisnis, yang membuat bisnis itu “ada” pada awalnya? Makna dari bisnis adalah pelayanan, dan dari pelayanan yang kita berikan, kita mendapatkan uang, serta keuntungan. Pemahaman ini sudah hilang, dan digantikan semata dengan sistem dan birokrasi yang mengabdi pada pengejaran keuntungan, serta penumpukan modal tanpa batas.

Penyakit krisis makna ini menjangkiti banyak organisasi. Sebagai suatu organisasi, agama-agama di dunia pun mengalaminya. Esensi, atau makna, terdalam dari agama adalah pengalaman mistik, yakni pengalaman yang menggetarkan sekaligus mengagumkan, ketika manusia bersentuhan langsung dengan “yang Ilahi”. Makna inilah yang hilang dari agama, dan digantikan dengan sekumpulan aturan, larangan, dan ritual yang seringkali mencekik jiwa, serta justru memusnahkan pengalaman mistik yang menggetarkan sekaligus mengagumkan akan “yang Ilahi”, yang sebenarnya merupakan makna dari agama.

Tak heran, kini agama menjadi beringas. Atas nama tuhan, mereka menyingkirkan yang berbeda. Atas nama tuhan, mereka melakukan diskriminasi yang menyakiti hati, dan merusak martabat manusia. Agama menjadi sumber arogansi, keterpaksaan, serta kebodohan, karena lupa akan maknanya sendiri.

Dunia pendidikan pun tak luput dari penyakit ini. Makna dari pendidikan sebagai penyadaran dan pembebasan kini sudah hilang. Yang tersisa hanyalah sistem pendidikan dengan aturan, seragam, ujian, serta pelajaran-pelajaran yang membuat peserta didik menderita. Maka janganlah heran, kalau kita melihat peserta didik tak suka belajar, dan lulusan-lulusan institusi pendidikan di Papua tak bermutu.

Penyakit krisis makna, yang menjangkiti berbagai bidang kehidupan di Papua, terjadi, karena kita lupa akan makna dari hal-hal yang kita lakukan. Yang kita ingat hanyalah sistem yang menopang makna tersebut. Ketika makna hilang, dan yang tersisa tinggal sistem, kita tak lagi mengerti, mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan. Kita bagaikan mayat-mayat hidup yang melakukan aktivitas dengan rutin, mekanis, serta tanpa kesadaran.

Dalam arti ini, ketika kita kehilangan makna, kita pun hidup dijajah oleh sistem. Kita bekerja, karena kita terpaksa bekerja. Kita mengikuti aturan, karena kita terpaksa mengikuti aturan. Kita dijajah oleh sistem yang sebenarnya kita bangun sendiri. Jika sudah begitu, hidup akan terasa kering, dan mengerikan.

Padahal, sistem adalah buatan kita. Artinya, kita punya kekuatan untuk mengubahnya, asal kita sungguh mau melakukannya. Kemauan itu hanya bisa ada, ketika kita sadar, bahwa kita dijajah oleh sistem-sistem kehidupan yang sebenarnya kita buat sendiri. Kesadaran inilah yang mesti kita bangun.

Analoginya begini. Sistem adalah kerangka tubuh, yakni tulang. Sementara, makna adalah organ-organ tubuh, seperti paru-paru, jantung, dan hati, yang ditopang oleh kerangka. Idealnya, keduanya berjalan seimbang, sehingga orang bisa merasa sehat, dan bisa beraktivitas. Namun, yang terjadi sekarang ini adalah organ-organ tubuh sudah hilang, yang tersisa adalah kerangka, yakni sekedar tulang.

Ketika tubuh hanya sekedar tulang, maka tubuh itu akan rapuh. Ketika masyarakat hanya tinggal sekedar sistem dan birokrasi, tanpa makna dan kesadaran, maka masyarakat itu pun rapuh, dalam arti gampang pecah, oleh karena perang, maupun sebab-sebab sosial lainnya. Perang saudara, kejatuhan sistem politis, revolusi, pembantaian massal, dan hal-hal mengerikan lainnya bisa terjadi, karena suatu masyarakat tidak memiliki makna politis di dalamnya.

 
Surabaya, 15 Januari 2013

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya


0 komentar:

APA YANG ANDA TERPIKIRKAN DI BENAK,DENGAN ARTIKEL DI ATAS INI...
TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI.... !