Oleh
:Kemby Kiryar
Add caption |
Sebagai
orang Papua telah lama mengalami penindasan dan kekerasaan selama
masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Permintahan rakyat untuk
merdeka dan berpisah dari NKRI adalah tujuan utama. Sebab dengan
tujuan itu, gerakan kami orang pribumi untuk dapat beraktifitas
memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kedamaian perspektif, namun
bertentangan dengan kehendak baik pemimpin negara Indonesia. Misalnya
tim seratus menerima kebijakan President BJ. Habibi, tentang Otonmi
khusus dan pemekaran propinsi Papua.
Masyarakat
Papua marah dan menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap
rakyat sebagai orang Papua, terkesan kami ini tidak mampu, bangsa
malas, miskin dan terbelakang. Seolah-seolah manusia Papua tidak
dibutuhkan akan tetapi kekayaan alaminya yang diperlukan demi
kepentingan negara-negara kapitalis, dan penjajahan misalnya dengan
PT. Freeport Indonesia hal ini terjadi agar negara dapat hidup dari
kekayaan bangsa Papua. Tambang PT. Freeport Indonesia sebagai
sarana dalam membungkam akar kekerasan di Papua.
Mengapa
identitasku hilang lenyap dalam lautan samudera “kesejahteraan”?
Karena tahun-demi tahun mencatat bahwa perjuangan rakyat untuk “M”
selalu dinilai negetif oleh pemerintah pusat sebagai gerakan
seperatis dari Indonesia. Sehingga untuk menghilangkan “M”
mereka memakai pendekatakan kesejahetraan. Katanya, “masalah Papua
adalah masalah kesejahteraan” sehingga dari Jakarta memprogramkan
jaringan kerjanya langsung pusat Jakarta kepada propinsi Papua
melalui progam pemerintah. Mereka tetap mendorong pemerintah daerah
terus menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai warga negara. Akan
tetapi, pembagunan manusian masih dibawah standar, kata
“kesejahteraan” hanya dipakai untuk menjinakkan hati rakyat
Papua. Sistim politik ini bisa diumpamakan dengan induk ayam
menyembunyikkan anaknya saat hujan. Setelah itu tidak tahu kemana
anak ayam tersebut.
Sejak
itulah Identitas diri orang Papua tidak lagi dihargai dan dipercaya
terhadap Indonesia mulai hilang dan pendapat kami ditolak, segalah
pikiran ide-ide kami ditolak dan tidak diakui sebagai orang asli
Papua. Kami merasa rendah, hilang kepercayaan diri terhada orang
lain. Tanah kami diambil, perempun dibunuh, diperkosa, laki-laki
dibunuh, rakyat kami dikejar-kejar, kasus kekarasaan penindasan oleh
aparat TNI/POLRI semakin dirasakan di mana-mana di Papua.
Muncul
keprihatinan bahwa dengan OTSUS,UP4B dan pemekaran propinsi,
kabupaten telah mengandung banyak ancaman bagi eksistensi orang asli
Papua. Sebab dengan pemekaraan propinsi ini berpontensi memburuk,
menghancurkan identitas jati diri dan kepercayaan orang asli
terhadap Jakarta. Semakin dimekarkan daerah-daerah dan propinsi di
Papua, semakin membuka ruang seluas-seluas untuk orang papua tidak
berdaya serta tidak memumupuk kebersamaan, nasionalisme dan
kesadaran diri sebagai orang Papua akan tetapi yang ada adalah tahan
perasaan, ketidakadilan, diskrimasi, minoritas dan ketidakberdayaan
untuk mengambil kebjiakan baru dan alernatif guna selesaikan masalah
kemanusiaan. Kebijakan pemekaran wilayah di Papua tersebut ibarat
“pisau bermata dua”, di mana di satu sisi diharapkan dapat
mengatasi permasalahan jauhnya rentang efektivitas pelayanan publik,
pemerataan pembangunan daerah, desentralisasi demokrasi tetapi
nyanya pemekaran diberikan akibat Nafsu
Besar, Tenaga Kurang : Catatan Evaluasi Pemekaran Wilayah di Papua.
Kiranya tidak tepat untuk menggambarkan perjalanan kebijakan
pemekaran wilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.
Karena perkembangan jumlah daerah otonom selama ini tidak
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara nasional – terutama di daerah pemekaran Papua.
Pihak
DPR dan DPRD Propinsi menjalankan program yang sudah diatur secara
struktural oleh pemerintah pusat sehingga dengan itu mereka hanya
menjalani apa yang dituntut oleh negara. Kami sendiri tidak mampu,
membuat kebijakan baru dan keberpihakan terhadap rakyat yang dibunuh
dan dianiaya di hutan dan diatas tanah sendiri. Kami sendiri merasa
dilematis dan tidak mampu baik legislative, eksekutif dan yudikatif
seharusnya DPR bertindak sebagai pemegang fungsi kontral akan tetapi
kini dibuang fungsi kontral kepada MRP, LMA semua lembaga ini tujuan
akhir tidak jelas alias punya kepentingan sehingga “bekerja untuk
siapa? beretorika untuk siapa?” sangat membingunkan masyarakat dan
mahasiwa berada di tanah Papua.
Orang
Papua sendiri akan bingun dengan diri sendiri dalam urusi program
pusat karena wajib menjalaNkan tugas dan segalah cita-cita, impian,
harapan mereka dipenuhi oleh pekerjaan sehari-hari. Sistem NKRI
telah berhasil menjadikan orang kami sebagai anak-anak yang baik dan
dapat didikan dari Indonesia sehingga kami tidak mau balik lawan,
tidak ada identitas asli, tidak ada kejahatan dalam diri kami tetapi
yang ada adalah kebaikan hati berhasil dilunakan oleh budaya
Indonesia, sistem pemerintah Republik Indonesia.
Kami
telah kehilangan idenititas dan jati diri kami ditengah-tengah
kesibukan diri dengan berbagai tawaran dari Jakarta, sementara di
lain pihak kami tidak sadari adalah identitas diri sebagai orang
Papua yang kini mulai punah dan mengikis secara sistematisasi.
Alasan pemerintah hanya karena kesibukan mengurusi kesejahteraan,
namun akan tinggal adalah sejarah ceritra tentang orang Papua bahwa
pernah berjuang untuk merdeka. Bahwa akan tinggal sebuah cerita yang
dicerita kepada generasi berikut dari bangsa Papua tidak peduli
dengan perjuangan Papua.
Walaupun
di sisi lain, telah pancing emosi dan kejahatan dalam diri sesama
manusia baik Papua maupun Indonesia. Peristiwa ini terjadi misalnya
tanggal 1 Juli, jam 8 pagi hari minggu penembakan, pembunuhan kepala
desa di distrik Arso Kabupaten Keerom oleh Kopasus, karena dianggap
terlibat dalam gerakan Papua merdeka. Kasus penembakan, pembunuhan
Mako Tabuni oleh TNI pada tangal 14 Juni, jam 10 pagi permunas III
Abepura-Papua, karena diaggap pengkianat NKRI.
Muncul
keteggang akibat terlalu baik dan jahat berhasil dilunakan oleh
sistem negara pemerintah NKRI terhadap orang asli Papua merupakan
diri sebagai ciptaan Tuhan, akibatnya mereka saling membunuh. Untuk
menghindari kejahatan demikian, maka marilah kita saling membuka diri
guna mengungkapkan masalah-masalah melalui jalan Dialog Papua-Jakarta
oleh organisasi (JDP) sebagai cara mencapai kesepakatan dan solusi
Papua tanah damai dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dari
pihak asing. Dengan maksud bawha pada inti adalah saling membuka diri
baik pemerintah Indonesia maupun orang Papua.
Penulis
adalah Mahasiswa STFT ”Fajar Timur” Abepura - Papua
0 komentar:
APA YANG ANDA TERPIKIRKAN DI BENAK,DENGAN ARTIKEL DI ATAS INI...
TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI.... !